14 Februari 2009

Cinta Kasih DAAI

Budi Suwarna

Ketika sebagian stasiun televisi asyik menyebarkan gosip dan prasangka lewat "infotainment" atau mimpi dan intrik lewat sinetron, DAAI (baca da-ai) TV menyebarkan cinta kasih dan harapan kepada pemirsa.

DAAI memang tidak ingin larut dengan arus utama industri televisi yang memperlakukan program sebagai sarana meraih rating setinggi-tingginya dan sarana mengeruk iklan. Pasalnya, televisi ini memang didirikan untuk tujuan sosial kemanusiaan.

"Kami tidak peduli dengan rating. Acara yang rating-nya tinggi, toh tidak selalu berkualitas. Ukuran kami adalah bagaimana program itu baik dan positif bagi pemirsa," ujar Program Manager DAAI Yabin Yap, Kamis (12/2).

Yabin menambahkan, semua program DAAI dibuat berdasarkan prinsip kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Benar berarti semua tayangan berdasarkan kisah nyata. Bijak maksudnya tayangan yang ditampilkan mengandung nilai-nilai positif. Indah berarti semua tayangan tetap enak ditonton.

"Bagi kami benar saja tidak cukup. Kalau benar tapi tidak baik, kami tidak akan menyiarkannya," ujar Yabin.

Karena itu, penonton DAAI tidak akan melihat adegan kekerasan, maki-memaki, mistik, humor vulgar, dan gosip seperti yang lazim kita lihat di sebagian besar stasiun televisi nasional.

Program majalah televisi DAAI, Mata Hati, menyajikan kisah kehidupan manusia yang dikemas secara humanis. DAAI Inspirasi mengupas kisah hidup seseorang yang bisa dijadikan teladan.

Untuk program drama, DAAI tidak menampilkan tokoh-tokoh fiktif yang hidup di istana mewah seperti dalam kebanyakan sinetron. Drama DAAI umumnya bercerita tentang kehidupan nyata sehari-hari yang dikemas secara realistis dan positif.

Salah satunya adalah drama seri Kisah Sebening Kasih karya Garin Nugroho. Drama ini bercerita tentang seorang anak dari keluarga miskin yang rumahnya 12 kali digusur. Namun, anak ini pada akhirnya bisa bangkit.

Ada pula kisah tentang seorang ibu yang ditinggal mati suaminya. Namun, ibu itu hidup bahagia karena ketiga anaknya sangat berbakti kepadanya.

"Begitulah, kami menonjolkan hal-hal positif dari sebuah kisah nyata yang kami angkat. Kami selalu berusaha menawarkan harapan dan optimisme kepada pemirsa," kata Hendrik Sumardi, Head Department Huminatarian DAAI.

Menonton drama-drama DAAI, kita diingatkan kembali pada drama "Keluarga Cemara" karya Arswendo Atmowiloto pada awal tahun 2000-an yang berkisah tentang keluarga tukang becak yang bersahaja dan penuh kasih.

Donasi

Di Indonesia, DAAI siaran di dua kota, yakni Jakarta dan Medan. DAAI Medan siaran resmi sejak 31 Mei 2007, sedangkan DAAI Jakarta sejak 25 Agustus 2007. Keduanya mendapat dukungan dari Da Ai TV Taiwan. Meski demikian, kata Yabin, DAAI TV Indonesia tidak terkait secara struktur dengan Da Ai Taiwan.

Stasiun ini didirikan karena terinspirasi dengan Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Budha Tzu Chi yang mengajarkan cinta kasih universal. "Tapi ini bukan media dakwah. DAAI TV diperuntukkan bagi semua kalangan apa pun agama dan sukunya," kata Yabin.

Karena televisi ini bermisi sosial, DAAI tidak menerima pemasangan iklan komersial. "Kami khawatir bergantung pada iklan," ujar Yabin.

Sejauh ini, seluruh biaya operasional DAAI Medan dan Jakarta diperoleh dari donasi perorangan maupun perusahaan. DAAI Jakarta setidaknya memiliki 400 donatur perorangan dan 14 donatur perusahaan. Yabin tidak bersedia menyebutkan berapa donasi yang bisa mereka kumpulkan dalam sebulan.

"Berapa pun sumbangan yang diberikan kami pasti terima. Ada kok pemirsa yang menyumbang Rp 500," tambah Fei Fei, Public Relations DAAI.

Budaya menyumbang juga ditanamkan pada semua karyawan DAAI. Manajemen memberi setiap karyawan sebuah celengan. Jika celengan itu sudah penuh, uangnya bisa disumbangkan untuk operasional DAAI atau kegiatan amal lain. Bahkan, ornamen bambu yang menghiasi lobi DAAI di Gedung ITC Manggadua Lantai 6 ternyata juga berfungsi sebagai celengan.

Di Taiwan, ujar Yabin, biaya operasional Da Ai sepertiganya diperoleh dari penjualan produk daur ulang buatan para relawan. "Ke depan kami akan mengarah ke sana," ujar Yabin.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/15/01203618/cinta.kasih.daai

13 Februari 2009

Uang Jaminan Dekoder Indovision

Saya pelanggan siaran televisi berbayar Indovision (ID 301009996770). Pertengahan 2007 saya memutuskan membayar satu tahun penuh, tetapi sejak Mei 2008 siaran yang kami terima buruk dan putus-putus. Sudah belasan kali kami menghubungi pelayanan pelanggan, tapi selalu dijawab dengan "Maaf, customer care kami sedang sibuk."

Sejak Mei 2008 sampai habis masa berlakunya iuran, siaran tidak bisa kami nikmati. Beberapa bulan lalu saya ditelepon Indovision supaya melanjutkan berlangganan. Saya jawab "saya tidak mau karena siaranmu jelek". Indovision lalu mengatakan akan mengambil dekoder dan parabola. Saya bilang "silakan, asal uang jaminan dikembalikan".

Pada Desember 2008, peralatan Indovision diambil. Seminggu kemudian datang lagi orang yang mengaku dari Indovision untuk mengambil dekoder dan parabola. Yang ada di rumah saat itu adalah pembantu. Dia menjawab peralatan sudah diambil. Orang Indovision itu mengatakan petugas harus memperlihatkan surat tugas bila mengambil peralatan dari rumah pelanggan.

Rupanya tak ada koordinasi di Indovision. Hingga saat ini kami belum menerima uang jaminan setelah dekoder dan parabola diambil. Indovision, untuk apa menahan uang jaminan? DONANT A ISKANDAR Jalan Pancoran Barat VII, Pancoran, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/14/01091066/redaksi.yth

12 Februari 2009

Korupsi TVRI - Sumita Divonis Bebas

Jakarta, Kompas 13 Februari 2009 | Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/2), membebaskan mantan Direktur Utama TVRI Sumita Tobing. Majelis hakim yang diketuai Panusunan Harahap menilai Sumita tak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan peralatan teknik dan umum di kantor pusat TVRI.

Putusan itu dibacakan di PN Jakpus. Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Sumita dengan hukuman penjara tujuh tahun. Ia dinilai bersalah mengeluarkan surat keputusan penetapan panitia lelang dan menyetujui hasil lelang. Padahal, lelang diduga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2000. Jaksa juga menengarai adanya penggelembungan dana dalam proyek itu sehingga diduga merugikan keuangan negara senilai Rp 5,2 miliar.

Menurut majelis hakim, terdakwa tidak dapat dipersalahkan dalam penetapan hasil lelang yang dilakukan panitia lelang. Penetapan itu merupakan tindakan administratif yang dilakukan Sumita sebagai Direktur Utama Perusahaan Jawatan TVRI.

Tindakan itu, menurut majelis, bukan dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri. Oleh karena itu, kata hakim, itu bukan suatu perbuatan melawan hukum.

Majelis hakim juga menilai terdakwa tidak tahu-menahu soal rekayasa yang dilakukan panitia lelang. Majelis menyebutkan, Sumita tidak melakukan intervensi dalam proses lelang. Penetapan PT Lilir Kaman Guna oleh Direktur Utama TVRI dilakukan sesuai dengan hasil lelang yang dilakukan panitia lelang.

Seperti disebutkan dalam dakwaan, panitia merekayasa proses lelang seolah-olah diikuti tujuh perusahaan. Pemenangnya adalah PT Lilir Kaman Guna.

Mendengar putusan tersebut, Sumita mengaku sangat gembira. Ia mengapresiasi putusan yang membebaskan dirinya. "Masih banyak hakim yang dapat diharapkan. Ternyata, masih ada hakim yang memiliki hati nurani," katanya. (ana)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/13/00045154/sumita.divonis.bebas

Asal Gobleg, Mengenang Hasil Karya Benjamin Suaeb

Pemirsa JAK TV kini bisa bernostalgia dengan lagu-lagu Bang Ben yang kerap diperdengarkan di Bens Radio.

Jakarta kebanjiran
Di Bogor angin ngamuk
Rumeh ane kebakaran.
Gara-gara kompor mleduk
Ane jadi gemeteran
Wara-wiri keserimpet ...


Begitulah cuplikan lirik lagu berjudul Kompor Mleduk yang merupakan karya sekaligus dilantunkan oleh almarhum Benjamin Suaeb. Siapa tak kenal dengan sosok seniman multi talenta Betawi ini? Bang Ben, begitu sapaan akrab semasa hidupnya dulu, diakui sebagai seniman legendaris yang telah menghasilkan banyak karya-karya seni luar biasa dan tak terlupakan. Bukan hanya oleh masyarakat Betawi namun juga seluruh bangsa Indonesia.

Selain dikenal sebagai aktor komedian, pencipta lagu dan juga penyanyi, Bang Ben juga dikenal sebagai penyiar acara bertajuk Asal Gobleg di radio miliknya, Bens Radio. Acara Asal Gobleg hingga kini masih mengudara  di radio yang kini dikelola oleh anak-anak Bang Ben.

''Hingga kini program acara Asal Gobleg telah 10 tahun mengudara. Sosok Bang Ben kemudian digantikan oleh seorang penyiar radio bernama Bang Djumala yang juga memiliki suara dan gaya seperti Bang Ben,'' ungkap Sony Soemarsono, executive producer JAK TV saat dihubungi Republika, di Jakarta, Senin (9/2).

Melihat antusias masyarakat yang tetap setia hingga saat ini mendengarkan acara Asal Gobleg membuat JAK TV tertarik bekerjasama dengan Bens Radio untuk mengangkat program acara Asal Gobleg ke layar kaca. ''Kini pemirsa JAK TV dapat mengenang dan menikmati lagu-lagu lagendaris karya Bang Ben yang berjumlah lebih dari 300 judul,'' ujar Sony.

Program acara Asal Gobleg sudah tayang di JAK TV sejak Senin (2/2) lalu. Acara yang tayang setiap Senin dna Selasa pukul 20.05 hingga 21.00 WIB ini dipandu oleh dua orang host yakni Bang Djumala dan Seren. ''Kami berharap program acara Asal Gobleg di JAK TV dapat menjadi tontonan favorit masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Tentu kami ingin Asal Gobleg sesukses acara di Bens Radio,'' harap Sony.

Format siaran radio
Menurut Triati Arishanti, produser Asal Gobleg JAK TV, sesuai dengan judul acaranya, Asal Gobleg menyajikan format seperti siaran di radionya. Para pendengar bebas untuk menyampaikan suaranya kepada penyiar, bisa berupa pantun, tebak-tebakan, uneg-uneg atau bentuk yang lainnya. Sepanjang siaran, penyiar akan memperdengarkan lagu-lagu lagendaris karya Bang Ben yang berjumlah lebih dari 300 judul.

Setiap episode Asal Gobleg menampilkan tema yang berbeda. Untuk episode-episode awal ditampilkan cerita seputar almarhum Benjamin Suaeb, seperti Mengenang Almarhum Bang Ben Lewat Udara, Nge-gobleg Bareng Komunitas Benster, Sohib Maen Film Bareng Bang Ben, dan Muke Mirip Bang Ben. ''Kedepannya tema setiap episode dapat berkembang dengan mengangkat budaya dan permasalahan Kota Jakarta secara ringan dan menghibur,'' ujar Triati.

Dalam tayangan berdurasi satu jam ini, kata Triati, kedua host akan berbincang dengan bintang tamu yang berbeda sesuai tema masing-masing episode. Selain itu, juga akan ditampilkan Band Akustik yang akan menghibur pemirsa dengan membawakan lagu-lagu hasil karya Bang Ben yang pastinya sudah akrab di telinga masyarakat Jakarta.

Diantaranya Kompor Kompor Mleduk, Hujan Gerimis, Kilik Kuping, Nonton Bioskop, Juki dan masih banyak lagi. ''Pemirsa juga dapat langsung berinteraksi dengan kedua host dan bintang tamu melalui telepon. Pemirsa dapat menyampaikan pertanyaan, pendapat, kritik dan saran, hingga tebak-tebakan, pantun atau apapun juga kepada kedua host dan bintang tamu,'' terang Triati.

Diungkapkan Tria, antusias penggemar Bang Ben memang luar biasa. Terbukti di episode perdana lalu,  mulai awal acara ditayangkan, para penelepon sudah antri di jalur telepon interaktif. Beberapa pendengar bahkan menyarankan agar menambah durasi tayang program acara Asal Gobleg ini.  Ini membuktikan, jika kharisma Bang Ben, sang tokoh legendaris Indonesia asal Betawi itu memang  masih memikat penggemarnya. ruz 12 Februari 2009 ::
http://www.republika.co.id/koran/43/31164/Asal_Gobleg_Mengenang_Hasil_Karya_Benjamin_Suaeb

4 Lawan 1 Mari Bicara Serius Tapi Santai

Di acara ini, akan dibahas berbagai tema aktual dengan narasumber yang menarik.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, tampak rileks dan sesekali tersenyum. Ical, begitu sapaan akrab pemilik usaha grup Bakrie itu, berbincang santai dengan empat perempuan ayu: Lula Kamal, penyiar radio Ida Arimurti, presenter dan bintang sinetron Meisya Siregar serta pengamat ekonomi Aviliani.

Pembicaraan berlangsung cair dengan membahas berbagai isu sosial, termasuk kasus lumpur Lapindo. Tak ketinggalan, dibahas pula masalah pribadi dan keluarga. Itu adalah penampilan Ical dalam episode perdana program talk show terbaru ANTV bertajuk 4 Lawan 1 yang ditayangkan Kamis (5/2) pukul 22.00 WIB lalu.

Sesuai nama acaranya, talk show ini dibawakan oleh empat perempuan kondang dengan menghadirkan seorang narasumber. ''Ini merupakan salah satu program terbaru ANTV yang membahas tema aktual mengenai politik, ekonomi, sosial dan budaya, dengan narasumber yang menarik dan kontroversial,'' kata Eko Ardiyanto, produser program ANTV di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Eko, program berdurasi 60 menit ini juga akan menampilkan para politisi terkemuka sebagai narasumber. Dalam suasana santai, mereka akan 'diuji' oleh empat host perempuan yang memiliki latar belakang profesi dan keilmuan berbeda.

Soal pembawa acara, kata Eko, bisa berganti di episode-episode berikutnya, namun tetap mewakili berbagai kalangan perempuan. Tak sekadar pemanis acara, keempat perempuan ini berperan sebagai panelis. Mereka mengajukan pertanyaan kepada narasumber mengenai berbagai topik yang sedang hangat di masyarakat. ''Untuk membuat suasana lebih santai, acara juga menampilkan unsur hiburan musik.''

Program 4 Lawan 1 diupayakan menjadi talk show yang berbeda dari yang lain. Untuk itulah, dihadirkan empat host sekaligus. ''Mengapa harus empat host, karena ini akan memperkaya isi diskusi maupun obrolan dengan narasumber. Dengan host dari berbagai latar belakang, akan lebih banyak isu yang bisa dibahas,'' terang Eko.

Lantas, mengapa pula mesti perempuan? Hal ini, jawab Eko, agar bincang-bincang dapat berlangsung serius tapi santai. ''Sosok perempuan dapat membuat suasana lebih santai dan perbincangan lebih ramai.''

Menurut Pemimpin Redaksi ANTV, Azkarmin Zaini, ke depan program ini akan disiapkan sebagai ajang uji kandidat calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres). Jadi, lewat talkshow ini, caleg atau capres dapat memaparkan visi dan misinya. ''Saya berharap program 4 Lawan 1 dapat menarik minat penonton,'' harap Azkarmin mengenai program yang seterusnya akan tayang setiap Kamis pukul 22.00 WIB ini.

Ganti nama
Jika Anda pemirsa setia ANTV, tentu tak asing dengan suguhan komedi Tawa Sutra XL. Sukses menyedot minat pemirsa dan telah tayang hingga episode ke-100, tayangan ini ganti nama menjadi Tawa Sutra Bisaa Ajaa. Walau ganti nama, format acara ini tetap sama seperti sebelumnya.

Mengapa harus ganti nama? ''Biar tercipta suasana baru aja, supaya lebih dekat dengan audience,'' kata Memed, sutradara program komedi yang telah tayang selama tiga tahun ini.

Tentang kata 'Bisaa Ajaa' yang menempel di belakang 'Tawa Sutra', Memed menjelaskan, itu berasal dari celetukan yang kerap diucapkan salah satu pemainnya yakni Budi Anduk. ''Kami bersyukur acara komedi Tawa Sutra mendapat perhatian yang cukup tinggi dari penonton,'' tutur Memed.

Tawa Sutra Bisaa Ajaa tayang Senin sampai Ahad pukul 21.00 WIB. Tawa Sutra adalah program komedi yang segar dan menggelitik. Diwarnai guyonan dan plesetan-plesetan masa kini serta kekocakan para bintangnya yakni Budi Anduk, Peppy, Ade Namnung, Arie Untung, Aldi Taher dan Sabria Kono, Tawa Sutra siap memancing tawa para pemirsanya. rusdy nurdiansyah  Rabu, 11 Februari 2009

http://www.republika.co.id/koran/43/30912/I_4_Lawan_1_I_Mari_Bicara_Serius_Tapi_Santai

PWI Pecat Tiga Wartawan SIB

Ormas Islam di Sumut desak kasus unjuk rasa Protap segera dituntaskan.

JAKARTA -- Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memberhentikan sementara tiga anggotanya yang merupakan wartawan surat kabar Sinar Indonesia Baru (SIB). Mereka diduga terlibat dalam insiden Sumut yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Sumatra Utara (Sumut), Abdul Aziz Angkat.

Siaran pers PWI Pusat di Jakarta, Rabu (12/2), menyebutkan, sanksi berupa pemberhentian sementara dari keanggotaan PWI itu diberikan sampai ada keputusan hukum pasti atas ketiga wartawan surat kabar SIB tersebut.

Sanksi itu diberikan karena PWI Pusat menilai telah terjadi pelanggaran berat atas Kode Etik Jurnalistik dan merusak citra organisasi PWI. Ketiga wartawan SIB tersebut adalah GM Panggabean (pemimpin umum), Chandra Panggabean (wakil pemimpin umum/ketua dewan redaksi), dan Victor Siahaan (penanggung jawab).

PWI Pusat, melalui Dewan Kehormatan PWI, sebelumnya telah menerima laporan dari pengurus PWI cabang Sumatra Utara dan Dewan Kehormatan Daerah PWI cabang Sumut tentang pemberitaan SIB pada 3 Februari 2009 dan keterlibatan wartawan anggota PWI dalam demonstrasi anarkis di Gedung DPRD Sumut, Selasa (3/2), yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Sumut, Abdul Aziz Angkat.

Siaran pers yang ditandatangani Ketua Umum PWI Pusat, Margiono, dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azam, itu juga menyebutkan keterlibatan wartawan anggota PWI dalam demostrasi anarkis itu telah menodai kehormatan profesi wartawan dan citra PWI.

PWI Pusat juga menilai, pemberitaan SIB pada 3 Februari 2009 berjudul "Ketua Umum PGI Wilayah Sumut: PROTAP: Warga Tapanuli Tidak Terhempang Lagi" dan beberapa berita sebelumnya dinilai telah melanggar Kode Etik Jurnalistik PWI.

Meski demikian, PWI Pusat mengimbau semua pihak tetap menghormati kemerdekaan pers dan tidak bertindak anarkis terhadap pers, khususnya terhadap surat kabar SIB.

Sementara itu, sampai kemarin, Poltabes Medan sudah menahan dan menetapkan 52 orang tersangka kasus unjuk rasa pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) tersebut. Kemarin, Poltabes Medan menetapkan dua tersangka baru.

Penahanan terhadap dua tersangka baru, kemarin, merupakan pengembangan dari pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan tersangka. "Mereka dikenai ancaman pasal perusakan, perbuatan tidak menyenangkan, dan penghasutan. Ancaman hukuman berlapis itu bisa mencapai enam tahun penjara," kata Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Baharuddin Jafar.

Pada sisi lain, kini juga muncul kekhawatiran masalah demonstrasi anarkis akan bergeser substansinya. Hal ini menyusul tudingan dari Fraksi Golkar DPRD Sumut yang menyalahkan Gubernur Sumut, Syamsul Arifin, dalam menyikapi isu pembentukan Protap. Alasannya, pendukung Protap terdorong untuk memaksa dewan mengeluarkan rekomendasi karena sudah dikeluarkannnya Surat Gubernur Sumut No 143 tanggal 26 September 2008 ke Mendagri tentang persetujuannya dengan pemekaran wilayah itu.

Padahal, menurut seorang anggota Fraksi Golkar, tidak semestinya gubernur mengeluarkan surat itu karena belum diplenokan di DPRD Sumut. "Adanya surat itulah sesungguhnya yang membuat pendukung Protap ngotot ke dewan untuk menerbitkan rekomendasi," kata seorang anggota fraksi ini.

Seruan Ormas Islam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut bersama seluruh organisasi kemasyarakatan Islam di provinsi ini juga kembali mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas insiden 3 Februari 2009. Pasalnya, bila tidak diusut tuntas, efeknya bisa mengganggu kondusivitas daerah ini.

"Semua yang terlibat, baik yang berada di Medan maupun di Jakarta, yang tampak atau tidak tampak di belakangnya agar diusut dan dihukum sesuai kesalahan masing-masing," kata Ketua MUI Sumut, Abdullahsyah, yang bersama tokoh Islam lainnya menjumpai Gubernur Sumut. Mereka mewakili NU, Al Washliyah, IKADI, Al Ithadiyah, serta Koalisi Ummat. nin/ant

http://www.republika.co.id/koran/140/31158/PWI_Pecat_Tiga_Wartawan_I_SIB_I

10 Februari 2009

KDI 6 Siap Lahirkan Bintang Dangdut Baru

TPI yakin, masih banyak bakat dangdut di Nusantara ini yang belum tergali secara maksimal.

Di tengah lesunya industri musik dangdut di Tanah Air, TPI tak patah semangat untuk terus mencari bakat-bakat baru di kancah musik dangdut. Hal itu setidaknya tergambar dari digelarnya Kontes Dangdut TPI (KDI) 6.

Sebagai stasiun televisi yang identik dengan musik dangdut, TPI memang butuh wajah-wajah dan bakat-bakat baru untuk menghiasi layar kacanya sebagai pendukung program. Dan TPI yakin, masih banyak bakat dangdut di Nusantara ini yang belum tergali secara maksimal. Maka TPI, lewat ajang KDI 6, memberi jalan bagi mereka yang ingin jadi bintang dangdut masa depan.

Kontribusi KDI dalam menyokong regenerasi musik dangdut rasa-rasanya tak perlu diragukan. KDI telah mencetak para pedangdut muda yang berkualitas, baik dari segi vokal, penampilan maupun kepribadian. Sebut saja misalnya, Siti, Nassar, Maya, Gita, Lola, Nurdin, Vita dan Dewi. Para alumnus KDI itu kini jadi penyanyi dangdut yang digemari masyarakat.

''Nama-nama bintang KDI lainnya pun terbukti mampu memberikan warna berbeda terhadap perkembangan industri musik dangdut Tanah Air sehingga memperkaya khazanah musik dangdut di Indonesia,'' kata Artine S Utomo, chief executive officer TPI, Senin (9/1).

Dikatakan Artine, TPI bersungguh-sungguh dan berkomitmen dalam memajukan musik dangdut Tanah Tir. ''Kesungguhan TPI kembali kami wujudkan melalui KDI 6. Dengan mengusung konsep baru yang lebih menarik, TPI berharap dapat menjaring bakat-bakat baru yang nantinya mampu memberikan sentuhan baru bagi dunia musik dangdut,'' paparnya.

Audisi di delapan kota
Seperti pentas KDI sebelumnya, KDI 6 pun menjaring para pesertanya lewat audisi. Kali ini, audisi akan digelar di delapan kota, yakni Bandung (7-9 Februari 2009), Makassar (14-16 Februari 2009), Medan (21-23 Februari 2009), Banjarmasin (28 Februari-2 Maret 2009), Surabaya (7-9 Maret 2009), Palembang (14-16 Maret 2009), Yogyakarta (21-23 Maret 2009) dan Jakarta (28-30 Maret 2009).

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi calon peserta adalah pria atau wanita berusia 16-25 tahun dan belum pernah menikah. Formulir pendaftaran bisa diperoleh di surat kabar dan radio yang telah ditunjuk serta di lokasi audisi. ''Untuk mengikuti audisi ini, peserta tidak dipungut biaya alias gratis,'' kata Theresia Ellasari, media relations secretary head TPI.

Untuk mendapatkan talenta terbaik, tahapan audisi KDI 6 akan mengalami penyempurnaan. Pada salah satu tahapan audisi misalnya, peserta diminta tampil di tempat umum yang dapat disaksikan oleh masyarakat, semisal di mal. Ini, kata Ellasari, untuk menguji mental serta keandalan peserta dalam menghadapi penonton.

Proses penyelenggaraan audisi KDI 6 tetap memberlakukan sistem berlapis dengan urutan tahapan: pra audisi, audisi, show case dan audisi final. Pada babak pra audisi akan dilakukan penyaringan dari ribuan peserta menjadi ratusan peserta. Nah, mereka lah yang berhak mengikuti tahap audisi. Dalam tahap ini, akan terpilih 40 peserta untuk maju ke tahap audisi kedua yang diadakan di hari berikutnya. Pada tahap audisi hari kedua akan dipilih 10-15 orang yang bakal tampil di muka umum dalam babak show case. ''Selanjutnya, 10-15 peserta tersebut harus mengikuti sesi wawancara sebagai tahap seleksi terakhir sebelum terpilih lima peserta terbaik yang akan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti acara bertajuk Gerbang KDI 6,'' papar Ellasari.

Audisi KDI 6 akan diawali di Bandung. Kota ini dipilih sebagai pembuka rangkaian audisi mengingat antusiasme masyarakat Bandung yang cukup tinggi di setiap penyelenggaraan KDI. Bandung memang banyak melahirkan bintang kenamaan, tak terkecuali bintang-bintang dangdut. Mau bukti? Lihatlah Siti, Gita, Genta dan Dewi. Dulu, mereka mengikuti audisi KDI di Bandung. Kini, mereka telah menjadi idola-idola baru di kancah musik dangdut. rusdy nurdiansyah

http://www.republika.co.id/koran/43/30700/I_KDI_6_I_Siap_Lahirkan_Bintang_Dangdut_Baru

Bangkitlah TVRI!

TVRI bertekad untuk kembali menjadi televisi kebanggaan masyarakat.

Kehadiran stasiun televisi swasta membuat TVRI merana. Stasiun televisi yang dulu begitu lekat di hati masyarakat, perlahan-lahan ditinggal pemirsanya. Survei yang pernah dilakukan AC Nielsen Indonesia di lima kota besar menunjukkan,TVRI merupakan stasiun televisi yang paling tidak populer atau tidak banyak ditonton masyarakat.

Namun, bukan berarti TVRI telah habis. Masih ada waktu untuk berbenah dan memperbaiki diri. Dan ternyata, para pengelola TVRI pun memiliki tekad itu. Maka, tahun ini mereka berencana melakukan banyak perubahan format dan program acara. ''Untuk itu, TVRI telah mencanangkan tahun 2009 sebagai tahun produksi,'' ujar Herman Budi Rahman, direktur pengembangan usaha TVRI, Jumat (30/1).

Apakah itu artinya di tahun-tahun sebelumnya TVRI tidak berproduksi? Tentu tidak begitu. ''Namun jika dibandingkan, jumlahnya relatif lebih banyak dan sebagian besar slot time-nya diisi dengan in house production, termasuk TVRI stasiun daerah pun ikut ambil bagian mengisi programa nasional,'' terang Herman.

Kehadiran program produksi TVRI stasiun daerah dalam siaran nasional, lanjutnya, memberikan warna khas, terutama dari pilihan isinya yang umumnya bermuatan lokal. Integrasi muatan lokal ke dalam siaran nasional menjadikan muatan program TVRI lebih variatif. Hal ini sejalan dengan citra TVRI sebagai stasiun televisi bernuansa Indonesia Color's Harmony. ''Semangat inilah yang ingin dikembangkan dan diwujudkan TVRI sebagai TV publik,'' ujar Herman. Untuk ini, TVRI telah menyiapkan sejumlah program baru yang kreatif dan inovatif bernuansakan Indonesia Color's Harmony.

Program baru
Apa saja program baru di layar TVRI? Jika Anda menggemari musik, stasiun televisi ini bakal menghadirkan program Tangga Lagu. Acara musik lainnya adalah Bintang Kampung, Indonesia Bermusik, Gebyar Keroncong dan Nostalgia. Ada pula acara budaya, sejarah politik, olahraga dan berita. ''TVRI sangat yakin bisa menguatkan image-nya sebagai stasiun televisi bernuansakan Indonesia Color's Harmony,'' ujar Manajer Humas TVRI, Meggy Rares.

Diakui Meggy, rating dan share yang diperoleh TVRI saat ini masih rendah. Namun, tahun ini TVRI bertekad kembali menjadi televisi kebanggaan masyarakat Indonesia. ''Kami sudah siap bersaing dan sekali lagi kami yakin apa yang akan disajikan TVRI ke depan bukanlah program murahan, tapi akan menjadi program yang lebih bermakna,'' ujar Meggy.

Mengenai program musik Tangga Lagu yang bakal menghibur pemirsa setiap Sabtu dan Ahad pukul 16.30-17.30 WIB, Meggy menjelaskan, tak hanya lagu-lagu baru yang bisa dinikmati, acara ini juga menghadirkan lagu-lagu lama yang masih digemari masyarakat. Program ini, menurut Meggy, bisa menjadi ajang promosi bagi penyanyi yang baru membuat album. Sang penyanyi bisa hadir bersama pencipta lagu atau musisi yang terlibat dalam pembuatan album untuk membahas proses penciptaan sampai prospek-prospek yang diharapkan.

Ada lagi Bintang Kampung yang akan hadir setiap Ahad pukul 20.00-21.00 WIB. Menjadi bintang memang bukan monopoli orang kota. ''Ternyata setelah Bang Mandor (pembawa acara Bintang Kampung) berkelana ke pelosok-pelosok desa, banyak remaja dan anak muda yang vokalnya bagus dan berpotensi jadi bintang,'' tutur Meggy.

Indonesia Bermusik akan hadir setiap hari pukul 22.00-23.30 WIB. ''Musik adalah kehidupan. Semangat itulah yang ingin dihadirkan pada program ini. Penayangan dilakukan secara stripping dengan menghadirkan beragam jenis musik seperti keroncong, rentak Melayu, jazz, country dan sebagainya yang dikemas dalam berbagai format,'' terang Meggy.

Nah, untuk para penyuka musik keroncong, jangan lewatkan Gebyar Keroncong yang menyapa pemirsa setiap Senin pukul 22.00-23.30 WIB. Menurut Meggy, keroncong bukanlah musik 'jadul' (zaman dulu). ''Coba saja masuk ke dunia maya, temui komunitas keroncong, ternyata anak muda pun mulai menyukai keroncong.''

TVRI juga menyediakan program bagi pemirsa yang ingin bernostalgia dengan menikmati tembang-tembang kenangan. Nostalgia nama acaranya. Acara ini hadir setiap Jumat dan Ahad keempat pukul 22.00-23.30 WIB. Lewat acara ini, Anda bisa pesan lagu kenangan untuk orang terdekat Anda. Asyik kan? rusdy nudiansyah

http://www.republika.co.id/koran/43/30356/Bangkitlah_I_TVRI_I

Nasionalisme Rambo ala Presiden SBY - Oleh: Dhimam Abror

Selasa, 10 Februari 2009 

Tidak biasanya presiden SBY membanyol di depan orang ketika berpidato. Tetapi dalam acara puncak peringatan Hari Pers Nasional dan HUT PWI ke-63 di gelanggang tenis indoor Senayan, Jakarta, Senin (9/2) tadi malam, SBY beberapa kali membuat hadirin tertawa.

Ketika membuka sambutan di depan ratusan anggota PWI dan tokoh pers dari seluruh Indonesia, SBY membuat hadirin tertawa dan bertepuk tangan ketika mengatakan dia ingin menjadi sersan. Lho, dia kan jenderal? ''Saya ingin serius tapi santai,'' kata SBY yang didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Ia pun berbicara panjang tanpa teks mengenai media massa dalam pemilu.  Ia bercerita mengenai kisah pewayangan Ramayana untuk memberi ilustrasi bagaimana peran media dalam membela kepentingan negara.

SBY pun mengutip adagium nasionalisme, ''Banyak yang mengatakan right or wrong is my country, kesetiaannya mutlak kepada negara,'' kata presiden kelahiran Pacitan ini.

Tapi, lanjutnya, ada pula yang mengatakan right is right, wrong is wrong yang benar tetap benar, salah tetap salah.

SBY lalu mengutip kisah Ramayana mengenai tokoh Rahwana yang memimpin negeri Alengka. Rahwana mempunyai dua adik yang berbeda bentuk, sifat, dan karakter. Kumbakarna, sang adik pertama, berwajah seram dan bertubuh raksasa. Ia sangat setia kepada Rahwana yang juga raksasa.

Adik kedua adalah Gunawan Wibisana seorang satria berwajah halus dan bertubuh ramping.

Ketika Rahwana berkonflik dengan Prabu Rama memperebutkan Dewi Sinta, Kumbakarna dan Wibisana berbeda haluan.

Ketika perang besar akan berkobar karena pasukan Rama bersiap menyerang, Rahwana memanggil kedua adiknya. Ia meminta keduanya untuk maju ke medan laga membela kakaknya dan negaranya.

Kumbakarna marah mengetahui ulah kakaknya yang menculik istri orang. Tetapi, Kumbakarna tetap berangkat ke medan perang. Ia maju perang membela negaranya dan tewas di tangan lawan. ''Kumbakarna gugur sebagai patriot pembela negara,'' kata SBY. Di mata Kumbakarna right or wrong Alengka is my country.

Sedangkan Wibisana yang tahu Rahwana bersalah merebut istri orang memutuskan membelot ke pihak penyerang dan menjadi penasihat Prabu Rama. Atas nasihat-nasihat Wibisana, Rama bisa mengalahkan Alengka. ''Di mata Wibisana right is right, wrong is wrong,'' kata SBY yang tadi malam menerima medali emas kemerdekaan pers dari PWI.

Pers Indonesia, kata SBY, silakan menafsirkan kisah epik itu ketika menulis mengenai persoalan-persoalan bangsa.

Presiden juga mengutip kisah dari khazanah Konfusianisme. ''Dalam ajaran Konfusianisme ada yang disebut kebenaran kecil dan kebenaran besar,'' kutipnya.

Alkisah, Konghucu punya seorang murid yang amat pintar dan ada seorang murid yang bodoh.

Suatu ketika si murid bodoh menantang taruhan murid yang pandai.

Si bodoh bertanya kepada si pintar, ''Berapa 8x3''. Sang murid pintar menjawab, ''24". Si bodoh menyalahkan dan menyebut 8x3 adalah 24.

Terjadi perdebatan hebat. Keduanya saling menyalahkan tak mau mengalah. "Kalau begitu kita bertaruh," kata si bodoh.

Kalau si bodoh salah dia akan memotong lehernya sendiri. Sebaliknya kalau si pintar yang salah dia harus melepas  topinya selamanya. Dalam tradisi China Konfusian melepas topi bagi seorang murid adalah aib seumur hidup karena topi adalah simbol intelektualitas.

Mereka memutuskan untuk menghadap Konghucu untuk menanyakan kebenaran.

Konghucu menjawab bahwa si murid bodoh yang benar dan si pintar salah dan kalah.

Alangkah marahnya si murid pintar. Ia dipermalukan oleh gurunya sendiri. Ia pun mengancam meninggalkan perguruan.

Konghucu mengizinkan murid kesayangannya itu pergi. Tapi ia menitipkan peringatan, ''Kalau nanti kamu masuk hutan akan terjadi hujan sangat lebat," kata Konghucu.

Jika terjadi demikian, kata Konghucu kepada muridnya, janganlah si murid berteduh di bawah pohon besar karena pohon itu akan ambruk diterjang badai.

Benar saja. Begitu keluar dari perguruan dan akan masuk hutan terjadi hujan badai. Sang murid berpikir hendak berlindung di bawah sebuah pohon besar. Tetapi sang murid teringat nasihat Konghucu, dan diapun segera mengurungkan niatnya.

Benar saja. Sejurus kemudian pohon besar itu berderak ambruk dengan dahsyat menghancurkan apa saja yang ditimpanya.

Sang murid kontan tersadar bahwa gurunya benar. Ia pun memutuskan untuk kembali ke perguruan untuk menjadi murid lagi. Konghucu menerima muridnya dengan tangan terbuka. Ia pun membeberkan hikmah di balik keputusannya membenarkan si bodoh.

"Kalau aku membenarkanmu," kata Konghucu, "Akan ada satu nyawa melayang dan kamu akan menyesal seumur hidupmu".

Dia melanjutkan, "8x3 sama dengan 24 adalah kebenaran kecil. Sedangkan selamatnya nyawa si bodoh adalah kebenaran besar".

SBY mengajak seluruh wartawan untuk merenungi hikmah kisah ini. Jika terjadi konflik antarkelompok masyarakat dan jatuh korban, akankah wartawan mengungkap semua "kebenaran" fakta misalnya korban yang tewas dan rumah yang rusak. Padahal wartawan tahu dengan mengungkap semua fakta itu secara telanjang akan memicu konflik yang lebih besar dan akan jatuh korban yang lebih besar.

Di mata SBY mengungkapkan fakta apa adanya dalam kasus konflik itu adalah sebuah kebenaran kecil. Sedangkan menulis dengan bijaksana dengan mempertimbangkan dampak sosial yang lebih besar adalah sebuah kebenaran besar.

Dalam pidato panjang itu Presiden SBY sempat juga menyitir film 'The First Blood' yang menampilkan tokoh Rambo yang diperankan oleh Silvester Stalone.

Rambo, seorang prajurit green baret yang hebat, masuk Vietnam untuk membebaskan teman-temannya yang masih menjadi tawanan perang. Ia nyaris mati dalam aksinya itu. Ia sukses dengan misinya. Tetapi, ternyata pemerintahnya sendiri berusaha menghentikan operasi itu karena alasan-alasan politik.

Rambo merasa dikhianati. Ia kembali ke Washington dengan marah. Ia menghancurkan apa saja yang ada di markasnya untuk melampiaskan murkanya.

Lalu muncullah Kolonel Truthman, mentor Rambo. Dia berhasil menenangkan anak didiknya.

Setelah kemarahan Rambo reda kolonel berkata kepadanya, "John, this war may be wrong (perang Vietnam ini mungkin salah, Red)," kutip SBY dalam bahasa Inggris. "Dan mungkin juga terjadi pada waktu dan tempat yang salah," lanjutnya.

Tetapi satu hal, lanjut sang kolonel, "Jangan biarkan negeri ini menjadi salah".

Kata SBY, negara kita mungkin salah dalam mengambil sebuah keputusan. Tugas kita, kata SBY, bukan lantas menggkritik membabi buta. "Yang lebih penting, kita semua, termasuk pers, harus punya tanggung jawab untuk tidak membiarkan negara kita terus salah," pungkas SBY.

http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=9910489e4ff310896dce21303a8e7fda&jenis=c4ca4238a0b923820dcc509a6f75849b

08 Februari 2009

Mengapa Banyak Koran Baru

Di zaman bikin surat kabar atau majalah tidak perlu izin apa pun seperti sekarang ini, apa sajakah motif seseorang menerbitkan surat kabar atau majalah? Coba kita inventarisasi kemungkinan-kemungkinan motif di baliknya:

1. Idealisme (menegakkan keadilan, kebenaran, membela si lemah, menyuarakan kepentingan umum, menegakkan demokrasi, dan sebagainya).

2. Bisnis (mengharapkan bisa menjadi lembaga bisnis, kecil maupun besar).

3. Politik (sebagai alat membela dan memperjuangkan aliran politik).

4. Agama (untuk menyiarkan ajaran agama).

5. Kepentingan sesaat (ingin dekat penguasa atau ingin jadi penguasa, mulai bupati/wali kota, gubernur, dan seterusnya).

6. Coba-coba.

7. Digoda/''dihasut'' orang lain (terutama oleh para mantan wartawan).

8. Menyalurkan hobi.

9. Belum ada pekerjaan lain (umumnya dilakukan oleh anak orang kaya yang baru pulang sekolah dari luar negeri).

10. Ngobyek (untuk mencari penghidupan kecil-kecilan dengan asumsi akan ada saja orang yang takut kepada pers dan karena itu bisa diminta/diperas uangnya. Termasuk di kelompok ini adalah pers sebagai alat untuk mencari proyek).

Mungkin masih ada motif yang lain, namun mungkin hanya gabungan di antara yang 10 itu. Misalnya, gabungan antara idealisme dengan bisnis. Secara idealisme tercapai, secara bisnis juga amat menguntungkan. Atau idealisme dengan pemerasan. Idealisme penerbitnya adalah memberantas korupsi di muka bumi Indonesia, jalan yang ditempuh adalah memeras para koruptor.

Tapi kalau saya amati, sumber terbesar yang menyebabkan munculnya banyak sekali surat kabar atau majalah baru adalah kalangan wartawan. Kira-kira bisa kita kelompokkan seperti ini:

1. Wartawan idealis. Yakni wartawan yang merasa idealismenya tidak tersalurkan di surat kabar tempatnya bekerja. Dia atau mereka merasa policy surat kabar/majalah tempatnya bekerja terlalu komersial yang lebih mementingkan aspek bisnis. Atau pemilik surat kabar/majalah sering memanfaatkan korannya untuk mencari obyekan bisnis atau jabatan politik untuk keuntungan pribadi sang pemilik. Wartawan jenis ini, setelah merasa mendapat nama kemudian memilih keluar, menjadi investor atau mencari investor untuk mendirikan media baru.

2. Wartawan yang merasa sudah pintar. Wartawan jenis ini merasa dirinya sudah sangat pintar melebihi si pemilik media tempatnya bekerja, atau melebihi pemimpin redaksinya. Dia merasa dirinya hebat sekali. Lalu merasa sudah semestinya menjadi pemimpin. Mereka lalu mencari-cari investor.

3. Wartawan yang tidak puas karena sistem kerja dan sistem penggajian di tempat asalnya. Di antara mereka ada yang memang benar-benar diperlakukan tidak adil oleh perusahaannya. Tapi, ada juga yang sebenarnya dia sendiri saja yang merasa diperlakukan tidak adil. Tipe wartawan seperti ini umumnya berusaha pindah dulu ke media lain, tapi tidak jarang juga (karena media lain sudah penuh), langsung mencari investor untuk membuat media baru.

4. Wartawan ingin maju. Yakni wartawan yang benar-benar memang ingin maju, dan merasa dirinya mampu. Lalu, setelah mendapat pengalaman cukup di tempatnya bekerja, dia mencoba membuat media sendiri.

5. Wartawan yang pensiun. Setelah lama jadi wartawan, lalu pensiun, maka rasa rindunya akan dunia pers tidak akan tertanggungkan. Mereka ini juga merasa sangat mampu dan terutama merasa sangat berpengalaman. Mereka ini umumnya juga lantas mencari investor dengan mengandalkan pengalamannya itu.

6. Wartawan yang di-PHK. Mereka ini jumlahnya tidak sedikit dan keinginannya untuk tetap bekerja di pers sangat besar. Maka mereka pun akan cari investor untuk membuat media sendiri.

7. Calon wartawan yang sudah magang di media dan kemudian tidak bisa bekerja di media itu. Lalu mencari investor juga.

8. Wartawan percobaan, yakni mereka yang mula-mula direkrut oleh sebuah media, tapi kemudian tidak lulus masa percobaan terakhir. Mereka ini telanjur merasa jadi wartawan dan merasa menjadi orang pers. Maka mereka ini juga bisa cari investor.

Jadi, kalau selama ini banyak orang pers yang ngedumel mengapa begitu banyak orang yang tidak tahu pers tiba-tiba masuk ke bisnis pers, sebenarnya banyak di antara mereka sendiri mulanya tidak ada minat masuk ke pers sama sekali. Mereka umumnya ''hanya'' sumber berita yang pernah dikenal si wartawan, kemudian diincar untuk jadi investor.

Tentu si investor sendiri sebenarnya lebih banyak menjadi ''korban'' rayuan atau ''hasutan'' para wartawan di atas. Tentu ada juga beberapa di antaranya yang akhirnya menikmati sebutan sebagai orang pers atau raja pers. Bahkan, anak istri mereka yang semula tidak ada yang tahu apa itu pers, tiba-tiba menjadi pemimpin umum atau pemimpin redaksi.

Mengapa banyak investor yang berhasil dirayu atau ''dihasut'' oleh para wartawan atau mantan wartawan?

1. Umumnya mereka tidak tahu sama sekali realitas dunia pers. Mereka umumnya hanya pembaca koran yang di dalam benaknya sering mengagumi orang koran.

2. Mereka punya uang atau punya aset (kantor/gedung/mesin/komputer) yang bisa dimanfaatkan sehingga kelihatannya hanya memanfaatkan aset yang sudah ada.

3. Mereka umumnya merasa punya network yang akan bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan koran/majalahnya.

4. Mereka umumnya mengerti manajemen sehingga merasa kemampuan manajemennya akan cukup untuk mengatasi manajemen koran/majalah.

5. Mereka umumnya hanya merasa lemah di redaksional dan kini bagian yang lemah itu sudah diisi oleh orang yang merayunya.

6. Mereka tergiur oleh rayuan/"hasutan" dari para wartawan itu karena biasanya si wartawan membawa alasan yang sangat menarik.

Alasan apa saja yang dipakai wartawan untuk merayu investor?

1. Koran/majalah adalah bisnis yang menarik, bisa untung secara cepat, bisa membuat investor terkenal, gengsi investor naik dan akan bisa dekat dengan orang-orang penting (tidak jarang si investor kemudian memang minta tolong si wartawan untuk mendekati pihak-pihak yang diincar).

2. Akan mudah mencari pelanggan karena isinya akan dibuat sedemikian rupa menariknya (umumnya disertai dengan penilaian si wartawan akan jeleknya mutu jurnalistik koran-koran yang ada, terutama di tempatnya bekerja dulu).

3. Akan mudah mencari iklan, karena iklan ini sangat menggiurkan. Lalu menyebut berapa penghasilan iklan koran seperti Kompas atau Jawa Pos. Si investor pun mulai mabuk dan membayangkan akan bisa mendapatkan sebagian dari kue besar itu.

4. Perayu berjanji kerja sekeras-kerasnya. Mereka ini ada yang dulu memang pekerja keras, tapi ada juga yang dulu pun tidak pernah mau bekerja keras.

5. Kalau si wartawan dulu bekerja di koran yang maju, dia akan mengatakan kepada investor bahwa dialah yang membuat koran itu dulu maju.

6. Kalau si wartawan dari koran yang tidak maju, dia akan mengatakan kepada investor bahwa manajemennya tidak bagus dan selalu menolak ide-ide yang diperjuangkannya.

7. Biasanya juga menawarkan tim yang sudah jadi dan dipromosikan sebagai tim yang kuat dan andal. Kalau tim itu dibentuk dari koran yang akan disaingi, akan disebutkanlah bahwa ''kita'' akan gampang merebut pasarnya karena tim andalannya sudah hilang.

Banyaknya koran/majalah baru dalam kurun sembilan tahun terakhir ini adalah satu kenyataan yang sah. Namun, banyaknya koran/majalah baru tersebut juga akan membuat semakin banyak eks-wartawan. Artinya, juga akan semakin banyak memproduksi para perayu ulung. Dan akhirnya masih akan banyak sekali investor yang diincar. Memang banyak sekali investor yang sudah mulai ''insaf'', tapi masih akan lebih banyak lagi investor yang menyediakan diri untuk ''tergoda''.

Sebagai ketua umum SPS atau Serikat Penerbit Surat Kabar (Majalah) yang baru saja terpilih, saya lagi mikir-mikir: apakah apa pun motif surat kabar/majalah itu didirikan semua harus dibina? Mulai kongres yang akan datang, pemilik suara di kongres tidak lagi hanya pengurus cabang-cabang SPS. Pemilik suara di kongres adalah para penerbit itu semua! Dengan demikian, kongres SPS yang akan datang akan sangat seru! Pertengahan tahun ini SPS mengadakan jambore atau konvensi penerbit. Kalau seluruh penerbit, apa pun motifnya, hadir di jambore itu, begitu pulalah gambarannya Kongres SPS yang akan datang! (Dahlan Iskan)

http://www.jawapos.com/

Catatan Hari Pers Nasional Dahlan Iskan - Wartawan Perjuangan yang Murni dalam Lima Tahun

PEMBACA koran naik drastis di Amerika Serikat, tapi pembeli koran turun drastis. Demikian juga ''pemirsa laptop'' naik drastis dan pemirsa tv turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi.

Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ''lebih baik tidak ada pemerintah daripada tidak ada koran". Kalau perusahaan mobil saja di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak.

Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan jaringan nasional -khususnya untuk tv berita. Ini karena berita yang nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan kepada perusahaan koran, melainkan ke provider internet.

Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran -terutama dari koran yang reputasinya baik- lebih dipercaya daripada sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis. Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ''berita koran itu lebih bisa dipercaya" memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak mau membayar ongkos untuk melahirkan ''berita koran lebih dipercaya" itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar. Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo atau RS dr Sutomo.

Belum ditemukannya bagaimana cara ''membayar" itu antara lain karena selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan, barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat kabar AS.

Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash yang luar biasa besar.

Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas: perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: "mabuk" pasar modal.

Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga -meski itu mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan itu dilakukan dan hasilnya sangat ''baik": kian banyak orang yang pindah ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu.

Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum subuh. Sedangkan meningkatkan ''sirkulasi" koran lewat on line meski juga harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah? Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah.

Itulah gairah yang ''memabukkan". Maka, ketika tiba-tiba terjadi krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual, bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam: terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak membayar. Harga saham koran seperti New York Time terjun bebas: kini sudah mendekati kategori junk bond.

Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan -karena selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan -melalui induk perusahaannya- Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama tidak pernah tinggi -dan karena itu tidak bisa anjlok.

Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.

Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang "mabuk" pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ''mabuk", tapi sudah keburu ada krisis: Jawa Pos. Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat baik-buruknya.

Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni, penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun lagi. "Jalan tol" di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran jalan tol yang di atas tanah.

Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol sosial yang kuat -tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut "wartawan perjuangan" yang murni.

*) Selain sebagai Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan adalah ketua umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar). Catatan ini menyambut Hari Pers Nasional 2009 yang diperingati hari ini.

http://www.jawapos.com/ ------ Senin, 09 Februari 2009

Mengapa Media Selalu Curiga? - Opini Suprawoto

Fakta sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa setiap pemerintah yang berkuasa pada awalnya selalu memberikan janji kemerdekaan terhadap pers.

Namun,kemudian, dalam perjalanan selanjutnya menjadi berbeda.Bak sebuah ungkapan yang disampaikan seorang politikus Partai Demokrat Amerika Serikat Mario Cuomo, "Anda berkampanye dalam puisi indah,memerintah dalam prosa.

" Meski pada awalnya ada janji-janji untuk tidak membatasi kebebasan pers,pada kenyataannya berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dinilai buruk oleh pekerja media, cenderung membatasi kebebasan pers,bahkan mengancamnya. Hal ini bisa dirunut dari masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Sebagai founding fathers Soekarno menjamin kebebasan pers dalam Pasal 28 UUD 1945. Menteri Penerangan waktu itu, Mr Amir Sjariffudin, pada Oktober 1945 menegaskan kembali melalui maklumatnya bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus bersendikan asas pers merdeka.

Oleh karena itu,kebijakan komunikasi dan penerangan yang dianut pemerintah dijanjikan sebagai berikut: "Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat,tetapi hanya pikiran beberapa orang yang berkuasa. Maka, asas kita ialah pers harus merdeka.

" Sejarah membuktikan, pers masa perjuangan waktu itu bahu-membahu mendukung pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Akan tetapi,setelah Belanda pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah, pembredelan mulai dilakukan.Tafsir pemerintah atas kemerdekaan pers hanya digunakan untuk memperkuat status quodibandingkan membangun keseimbangan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah.

Surat kabar Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantaramenjadi saksi atas pengingkaran janji pemerintah di masa kepemimpinan Soekarno. Sinar Harapan pun sempat mengalami pembredelan oleh pihak penguasa pada awal Oktober 1965 ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI.

Kelahiran Orde Baru di bawah pemimpinan Presiden Soeharto juga dihiasi dengan janji akan kebebasan pers.Sebagai koreksi atas Orde Lama yang mulai mengekang kebebasan pers,pemerintah menjamin kebebasan pers melalui undang-undang tentang pers.Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Pasal 4 secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa "pers bebas dari kontrol dan pembredelan".

Bahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, sebagai revisi atas undang-undang sebelumnya, hanya mengubah klausul yang berkaitan dengan media cetak, yaitu Jaksa Agung tidak memiliki wewenang untuk melakukan pembredelan. Bulan madu kebebasan berakhir seusai peristiwa Malari 1975. Upaya pemerintah melakukan pengekangan mulai muncul kembali.

Kontrol atas kebebasan pers makin mengerucut dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Pasal II butir 13 yang mengharuskan setiap penerbitan pers memiliki SIUPP. Kemudian hal itu dijabarkan dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Permenpen/ 1984 yang mengatur tentang prosedur dan persyaratan untuk memperoleh surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP).

Dalam peraturan ini, Menteri juga dapat mencabut SIUPP terhadap pers yang dipandang melanggar ketentuan. Dalih yang dimunculkan pemerintah atas keluarnya peraturan perundangan ini adalah mengedepankan konseptuasi kebebasan yang bertanggung jawab.Sejarah mencatat,pada masa Orde Baru banyak pembredelan dilakukan dan "budaya telepon"berkembang untuk mengekang kebebasan pers.

Musim Semi Era Reformasi

Pendulum sejarah berganti.Pemerintah era Reformasi di bawah pimpinan Presiden BJ Habibie lahir. Pemerintahan Habibie tercatat sebagai pemerintahan yang mengakomodasi kebebasan pers. Bahkan dalam masa awal pemerintahannya, janji kebebasan pers dituangkan langsung dalam undang-undang pertama yang disahkan, yaitu Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pers tak perlu lagi izin dan sejenisnya dan malahan ada sanksi bagi yang menghambat kemerdekaan pers. Pemerintahan Habibie hanya sebentar digantikan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid.Sebagai jaminan untuk memastikan bahwa kontrol serta pembredelan terhadap pers tidak ada lagi,

Presiden Gus Dur langsung membubarkan Departemen Penerangan pada Oktober 1999 yang selama ini identik dengan lembaga yang membelenggu pers. Salah satu alasan Presiden Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan karena informasi adalah urusan masyarakat,bukan lagi menjadi urusan pemerintah.

Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Media Wacth,obmudsman tiap media, Dewan Pers,dan masyarakat tentunya. Namun polemik dalam dunia pers waktu itu tak bisa serta mudah selesai dengan mudah.

Dalam berurusan dengan pekerja pers yang mulai kritis, banyak orang kemudian mulai menafsirkan arti masyarakat secara sempit dengan idiom "pengerahan massa".Tentu ingatan kita tak akan lupa dari pendudukan kantor Jawa Pos oleh simpatisan Presiden Gus Dur untuk meminta klarifikasi atas pemberitaan dan pemuatan karikatural media yang mulai kritis.

Ketika pemerintahan berganti, Presiden Megawati Soekarnoputri kembali lagi menjanjikan kebebasan pers. Gaya pemerintahan Megawati memang berbeda dengan gaya pemerintahan Abdurrahman Wahid. Namun tatkala pers mulai kritis terhadap pemerintah, Presiden Megawati menyampaikan keluhannya terhadap pers yang selalu mengkritisi pemerintah dalam pidato di Hari Pers Nasional di Banjarmasin.

Akhirnya pada masa pemerintahannya, Megawati pernah menggugat media massa (kasus harian Rakyat Merdeka).Langkah itu diambil sebagai akumulasi pemberitaan yang menyerang secara terus-menerus dan tidak adil.Namun demikian,memang Presiden Megawati tidak pernah membredel media massa.

Dari rangkaian sejarah seperti tersebut di atas, tak mengherankan jika kemudian masih ada anggapan bahwa kebebasan pers selama ini masih mengalami ancaman dengan berbagai cara dan bentuknya.

Masa SBY-JK

Pada awal pemerintahan,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan dengan tegas komitmen pada demokrasi dan kebebasan pers.Selain menjamin tidak akan ada lagi pembredelan terhadap pers,Presiden SBY juga berjanji membuat pers terus berkembang dan mendapatkan peran dalam kebebasannya.

Sebagai wujud realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada Hari Pers Nasional Tahun 2008 lalu, Presiden SBY menyampaikan seandainya diminta memilih untuk memberikan kebebasan kepada pers atau mengatur pers, dengan tegas Presiden menyatakan akan memilih yang pertama yaitu memberikan kebebasan kepada pers.

Pada tanggal 30 April 2008 lalu, pemerintah telah mengesahkan Undang- Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini akan dapat lebih memberikan jaminan atas keterbukaan informasi sekaligus merupakan penguat kemerdekaan pers sebagaimana amanat Undang- Undang No 40/1999 tentang Pers.

Mekarnya kebebasan pers itu telah kita nikmati.Tak berlebihan apabila kemudianalmarhumProf AffanGaffar dari UGM dalam pertemuan editor se- Asia Tenggara di Jakarta menyatakan bahwa Indonesia memiliki pers yang paling bebas di Asia Tenggara.

Namun, apakah kebebasan itu ada kemungkinan direnggut kembali? Tentunya kekhawatiran itu tidak perlu ada karena banyak lembaga yang mengawal kemerdekaan pers. Bahkanada Mahkamah Konstitusi yang menjadi garda pengawal apabila sebuah undang-undang bertentangan dengan amanat UUD 1945 atau mencederai hak konstitusi warga negara. Jadi mengapa kita masih harus curiga?

Akan lebih arif apabila kita memaknai kemerdekaan pers saat ini dengan kemerdekaan pers itu untuk siapa? Tentu jawabannya akan terpulang pada tema Hari Pers Nasional tahun ini yang tengah diusung temanteman media: "kemerdekaan pers dari dan untuk rakyat".(*)

Suprawoto, Kepala Badan Informasi Publik Depkominfo
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211992/

Anomali Ruang Publik Media - Opini Agus Sudibyo

"Ruang publik sebagai potensi demokratis media akan tenggelam saat rasionalitas birokrasi atau rasionalitas modal mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media."

Pernyataan Robert McChesney dalam buku Corporate Media and The Threat to Democracy, Seven Stories Press, The Open Media Pamphlet Series, 1997, itu menjadi titik awal untuk meninjau situasi terkini media di Indonesia.

Reformasi sistem media nasional selama satu dekade terakhir tidak otomatis membuat praktik produksi, orientasi, dan kecenderungan politik media kian didasarkan pada prinsip-prinsip keutamaan publik. Reformasi itu juga belum berujung pada lahirnya ruang publik ideal, yang relatif otonom dari dominasi rasionalitas modal maupun birokrasi, dan mampu menggerakkan diskursus sosial yang berkualitas, deliberatif, dan mempunyai signifikansi bagi nilai kewargaan.

Reformasi sistem media itu belakangan mengalami anomali. Praktik bermedia dan perubahan kebijakan media kian menunjukkan gejala rekolonialisasi ranah media oleh imperatif-imperatif ekonomi atau birokrasi. Terutama pada media penyiaran, subsistem rasionalitas ekonomi pasar dan subsistem administratif negara secara sistemik mendeterminasi hampir semua aspek media: perizinan, permodalan, orientasi produksi, distribusi, dan relasi dengan masyarakat.

Rekomersialisasi

Kebebasan media belum tentu identik dengan kebebasan khalayak untuk mendapatkan informasi berkualitas. Kebebasan itu juga diinterpretasikan sebagai kebebasan mendirikan media. Kini mudah didapat semua media, mulai dari yang menyajikan diskursus sosial-politik hingga yang menggeluti gosip selebriti, cerita gaib, ramalan nasib, atau bisnis "esek-esek". Kebebasan media direduksi sebagai kebebasan memproduksi informasi tanpa mempertimbangkan relevansi dan kelayakannya.

Matra komodifikasi tanpa batas tampaknya berlaku di media, terutama televisi, semua hal praktis diperlakukan sebagai komoditas. Tanpa peduli yang esensial maupun yang artifisial, yang sacred maupun profan, semua disajikan berdasarkan psikologi budaya populer. Di layar televisi, wilayah dunia kehidupan, budaya, seni, moralitas, bahkan agama, harus tunduk pada mekanisme pencitraan yang berorientasi pada tampilan serba populer, dramatis, dan sensasional.

Ruang media pertama-tama adalah ruang komersial, bukan ruang publik yang selalu menuntut kelayakan. Namun, rekomersialisasi ruang media ini mendapatkan legitimasi hukum. PP Penyiaran Nomor 49, 50, 51, 52 Tahun 2005 sebagai ketentuan pelaksana UU Penyiaran mengarahkan penyiaran Indonesia menuju sistem yang hampir sepenuhnya komersial. Regulasi kepemilikan media, permodalan, jaringan media, perizinan, dan isi siaran amat berpihak pada kepentingan penyiaran komersial. Tak terlihat lagi orientasi pelembagaan sistem penyiaran yang berpihak pada kepentingan berbasis komunitas atau publik, yang mengakomodasi pengembangan potensi lokal.

Rebirokratisasi

Paket PP Penyiaran itu juga memberi dasar bagi proses rebirokratisasi media penyiaran, dengan meneguhkan kembali kedudukan pemerintah, khususnya Depkominfo sebagai regulator penyiaran. Dengan menegasikan KPI sebagai regulator penyiaran menurut UU Penyiaran No 32/2002, pemerintah membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk kembali mengintervensi dunia media.

Tren rebirokratisasi ranah media juga tecermin dalam rencana amandemen UU Pers. Draf RUU Pers pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pers tidak benar-benar bertujuan menciptakan ruang publik media yang demokratis, tetapi lebih berorientasi mengembalikan otoritas pemerintah dalam mengatur segi-segi kehidupan media. Kecenderungan legislasi bidang media mencerminkan politik kontrol dan pembatasan, dengan menghidupkan kembali mekanisme sejenis SIUPP, bredel, dan pengaturan lisensi profesi jurnalistik.

Perubahan regulasi bidang media tidak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menyerahkan urusan publik kepada publik guna mengeliminasi determinasi sistem bisnis dan birokrasi terhadap ruang publik. Perubahan regulasi justru memfasilitasi gerak rebirokratisasi dan rekomersialisasi ruang publik media.

Pada ranah penyiaran, pemerintah dan industri media sama- sama terancam reformasi kebijakan yang secara garis besar hendak menyerahkan kendali regulasi penyiaran kepada publik. Yang terjadi adalah simbiosis mutualisme. Regulasi pemerintah di bawah UU Penyiaran tidak dimaksudkan memperkuat kedudukan publik vis a vis industri media, tetapi untuk menjamin establishment kepentingan bisnis penyiaran. Sebaliknya, industri penyiaran melegitimasi kedudukan pemerintah sebagai regulator media. Industri televisi nasional tidak melakukan perlawanan saat PP Penyiaran meneguhkan intervensi pemerintah terhadap media penyiaran.

Reorganisasi rasionalitas modal dan rasionalitas birokrasi inilah kendala utama untuk mengembalikan karakter media sebagai institusi sosial saat ini. Praktik bermedia lebih ditentukan matra komodifikasi dan pengendalian, bukan matra pemberdayaan. Jika tren ini terus berlanjut, pembentukan watak kultural masyarakat melalui media kian tidak ditentukan oleh prinsip kewargaan, tetapi reifikasi terhadap sistem ekonomi dan politik yang dominan.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/00510848/anomali.ruang.publik.media